Saat ini kata autis menjadi “sapaan” baru buat orang yang cuek dan jarang berinteraksi dengan sekitar. Padahal, tidak segampang itu untuk mencap seseorang terkena autis. Jangan mengartikan autis sama dengan penyakit flu atau kanker. Autis adalah gangguan perkembangan otak yang mempengaruhi beberapa kemampuan dasar seseorang. Seperti komunikasi, bersosialisasi dan tingkah laku. Secara fisik, penderita autis terlihat tidak beda sama kita. Mereka benar-benar normal. Hanya saja, mereka cenderung cuek dan tak acuh pada keaddan sekitar. Tapi, cuek-nya penderita autis pun bukan sekedar malas berbaur saja. Mereka juga bisa sangat aktif, tapi memang tampak seolah punya dunianya sendiri. Sama seperti penyebabnya, obat untuk autis juga belum ditemukan. Lalu, penderita autis itu bisa berubah jadi normal nggak, ya?. “Bisa saja. Tapi saat dia stress, perkhatikan caranya menyelesaikan masalah. Disitu terlihat apakah dia sudah benar-benar normal atau belum,” jelas Dyah Puspita, psikolog dan salah satu pendiri yayasan autisma Indonesia.
Gejala autis tidak mungkin muncul tiba-tiba di usia dewasa, karena sudah bisa terlihat sejak umur 1-3 tahun. Gejala tersebut juga bisa banyak macamnya, bisa ekstrim atau malah justru rendah banget. Menurut Dyah, sesuai dengan namanya, Autism Spectrum Disorders, autis terdiri dari ratusan juta gradasi. Berarti ada ratusan macam bentuk dan modelnya. Pada umumnya, beberapa gejala yang bisa terdeteksi adalah :
1. Tidak mau atau tidak bisa menatap mata lawan bicaranya.
2. Perkembangan bicaranya lambat, atau malah tidak berkembang sama sekali.
3. Tidak focus atau sulit berkonsentrasi.
4. Jarang menggunakan bahasa tubuh misalnya, ekspresi wajah atau mata saat mengungkapkan sesuatu.
5. Cenderung melakukan sesuai urutan. Misalnya, kalau jalan pulang maka harus selalu lewat jalan tol. Kalau urutan ini dilanggar, mereka akan marah.
6. Tdak tertarik untuk berkomunikasi atau bermain dengan orang lain.
7. Tertarik pada suatu benda dengan cara yang berbeda. Misalnya, buku yang harusnya dibaca, tapi malah dia jadikan sebagai bantal.
Meski belum ditemukan obatnya, tapi gangguan autis bisa diperkecil dengan terapi. Kini semakin banyak jenis terapi yang ditemukan sebagai aternatif. Tapi, karena autis mempunyai banyak gradasi maka hasilnya pun tidak bisa dipukul rata. Namun tak ada salahnya, mengenal terapi tersebut seperti :
a. Terapi bermain.
Pada prakteknya terapi ini menggunakan mainan yang dirancang khusus untuk melatih konsentrasi si penderita autis.
b. Terapi Musik.
Nada dan ketukan yang keluar dari berbagai alat music dipercaya dapat “menembus” otak dan membantu mereka berkonsentrasi.
c. Terapi air.
Terapi yang satu ini dibantu lewat perantara lumba-lumba. Lumba-lumba yang berkomunikasi dengan gelombang sonar dipercaya mampu merangsang kemapuan otak penderita autis. Pada tahap tertentu, penderita autis juga bisa langsung bermain dengan lumba-lumba, tapi tentu didampingi si pawang.
Autis bisa menghampiri siapa saja, baik itu tetangga, teman, atau saudara kita sendiri. Sedihnya, kini masalah yang dihadapi para penderita autis bukan cuma soal belajar konsentrasi saja, tapi juga adanya sikap diskriminasi lingkungan. Tidak jarang, kasus dimana penderita autis ditampar atau dipukuli oleh orang kesal dengan tidakan mereka yang “beda”. Maka dari itu, ketika bergaul dengan penderita autis, pelakukanlah mereka seperti orang lain pada umumnya. Seperti kata Dyah Puspita, “Autis adalah tanda ketidak-sempurnaan yang diciptakan Tuhan.” Is there anyone who is perfect anyway? Kita pun juga tidak sempurna. ada beberapa tips agar kita bisa bergaul dengan penderita autis, yaitu :
1) Hindari meledek penderita autis.
Pikirkan bahwa tidak seorang pun mau terlahir dengan kondisi itu. Jika merasa terganggu dengan kehadiran mereka, lebih baik menjauh dengan perlahan.
2) Bicara to the point.
Misalnya jika kita meminta mereka untuk menghampiri, maka bilang saja, “Ke sini.” Penderita autis akan lebih mudah konsentrasi ke satu kata itu saja.
3) Bersabar ketika tingkah mereka menyinggung kita.
Misalnya, saat dia meludah sembarangan atau menatap tanpa kedip. Banyak anak autis yang sering mengalami kekerasan fisik akibat tingkah mereka tersebut. Lebih baik langsung bilang pada mereka, “Tidak boleh.”
sumber : majalah gadis

.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar